Pengaruh Smackdown Bagi Anak-Anak
1. Sejarah Smackdown
Smackdown sebenarnya terinspirasi dari tayangan World Championship Wrestling (WCW) Thunder yang muncul di TV kabel TBS pada 1988. baru pada tanggal 29 april 1999 World Wrestling Federation (WWF) membuat smackdown. Untuk melengkapi kesuksesan smackdown, pada Februari 2000, Toy Headquarters membuat sembilan seri game smackdown.
Smackdown begitu terkenal di Indonesia. Tidak jarang penggemarnya (terutama anak-anak) mengikuti gaya pura-pura dari bintang-bintang smackdown seperti John Cena, Rey Mysterio, Stone Cold, dan juga Kent. Adegan-adegan smackdown sudah begitu terkenal di berbagai media elektronik di Indonesia. Tidak hanya di stasiun televisi saja. Tetapi juga sudah banyak game-game smackdown yang beredar di pasaran. Akhir-akhir ini stasiun televisi yang menayangkan smackdown yaitu Lativi. Namun pada kenyataannya acara ini juga pernah ditayangkan pada tahun 2000 silam oleh RCTI dan TPI.
Smackdown tidak hanya tenar di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Di Amerika, Eropa, dan Asia, smackdown begitu populer. Bahkan di Italia pemandangan sepak bola jalanan telah berganti dengan latihan meniru gerakan para pegulat, kendati secara reguler pihak TV selalu mencantumkan “jangan mencoba melakukannya di rumah”. Oleh karena itu, kecaman Lippi bagi pecinta sepak bola dianggap sebagai peringatan dini. Del piero, Totti, atau pahlawan Italia di piala dunia 2006, Marco Materazzi, adalah produk lokal yang dibina sejak kecil. Namun pada kenyataannya, tayangan smackdown telah menelikung dan meracuni benak bocah-bocah Italia.
2. Dampak Smackdown Terhadap Psikologis Anak-anak
Ultimatum ini tentunya bukan tanpa dasar yang jelas. Berikut ini merupakan data yang berhasil didapat yang termuat dalam buletin studia edisi 319/tahun ke-7(11 september 2006):
1. Reza Ikhsan Fadillah, 9 tahun, siswa SD Cingcing 1 Ketapang, Soreang, Bandung (meninggal 16 november 2006),
2. Angga Rakasiwi (11 th), siswa SD 7 Babakan Surabaya (dijahit lima jahitan di kening),
3. Fayza Raviansyah (4 tahum 6 bulan), siswa TK Al-Wahab Margahayu, Bandung (luka, muntah darah),
4. Ahmad Firdaus (9), siswa kelas III SD 7 Babakan Surabaya (pingsan),
5. Nabila Amal (6 tahun 6 bulan), siswa kelas I SD Margahayu Raya 1, Bandung (patah tulang paha),
6. Mar Yunani, siswa kelas III SD Wates Kulonprogo, Yogyakarta (gagar otak), dan
7. Yudhit Bedha Ganang (10), siswa kelas V SDN 5 Duren Tiga, Jakarta Selatan (luka pada kepala dan kemaluan).
Ini merupakan hal yang tidak bisa dianggap sepele. Dimana sudah banyak korban yang di akibatkan acara smackdown ini. Ini merupakan data-data yang dilaporkan. Mungkin masih ada lebih banyak lagi korban-korban yang berjatuhan akibat acara ini yang masih belum dilaporkan. Tidak hanya para orang tua korban, Bupati Wonogiri, Jawa Tengah, Begug Purnomosidi, juga menerbitkan larangan tayangan kekerasan smackdown di televisi. Bahkan Komisi Nasional Perlindungan Anak juga malah menuntut WWE agar bertanggung jawab atas program yang dibuatnya.
McLuhan seorang ahli psikologi komunikasi berpendapat bahwa manusia berhubungan dengan televisi sudah tidak hanya melihat atau menonton lagi, tapi sudah terlibat didalamnya. Ditambah dengan kemajuan teknologi sekarang dan berbagai permainan yang berbau kekerasan. Prilaku anak dapat dijerumuskan dalam tayangan atau game yang lebih melibatkan imajinasi, ilusi, dan impresi anak secara langsung.
Prilaku imitative atau meniru sangat menonjol pada anak-anak. Permasalahan ini diperparah karena kemampuan berpikir anak-anak yang masih sederhana. Maka cenderung berfikir apa yang ada di televisi adalah yang sebenarnya. Anak-anak masih sulit membedakan antara yang fiktif dan nyata. Anak-anak juga masih sulit membedakan antara yang baik sesuai norma dan etika, agama dan hukum.
Ron Solby dari Universitas Hardvard secara terperinci menjelaskan beberapa dampak kekerasan dalam televisi. Diantaranya terhadap dampak agresor anak. Dampak lainnya anak menjadi penakut dan semakin sulit mempercayai orang lain. Dampak pemerhati, anak kurang peduli terhadap kesulitan orang lain. Dampak nafsu adalah meningkatnya keinginan anak untuk melihat atau melakukan kekerasan dalam mengatasi setiap persoalan.
Menurut Aletha Huston, Ph.D dari University of Kansas, anak-anak yang menonton kekerasan di TV lebih mudah dan lebih sering memukul teman-temannya. Tak mematuhi aturan-aturan kelas, membiarkan tugas tidak selesai, dan lebih tidak sabar dibanding teman-temannya yang tidak menonton kekerasan di TV.
Dari berbagai pernyataan diatas jelaslah bahwa smackdown merupakan sebuah tontonan yang dapat mempengaruhi kejiwaan anak-anak. Karena smackdown merupakan adegan yang mempertontonkan kekerasan. Dan juga diperparah lagi karena dalam adegan smackdown tidak jarang ditemui adegan saling umpat dan ejek. Karena pada dasarnya tontonan ini merupakan tontonan yang paling banyak adegan mengumpat, mengejek dan saling pukul. Maka jikalau anak-anak menonton adegan ini maka secara lambat laun rusaklah moral anak tersebut.
3. Bahaya Selain Smackdown
Selain bahaya kekerasan fisik, ternyata masih banyak film yang pengaruhnya bisa dianggap enteng. Tetapi pada dasarnya dapat memberikan pendidikan yang jelek terhadap anak-anak. Sebagai contoh maraknya film remaja yang menampilkan adegan percintaan dan gaya hidup bebas antara cowok dan cewek, termasuk seks bebas didalamnya. Acara-acara eprti ini secara tidak langsung dapat memberikan inspirasi kepada pemirsanya untuk melakukan hal yang sejenis.
4. Siapa Yang Bertanggung Jawab
Pengelola stasiun televisi hendaknya mempunyai tanggung jawab moral terhadap program yang ditayangkannya. Persaingan di antara stasiun televisi kini semakin ketat. Mereka bersaing menyajikan acara-acara yang digemari penonton, bahkan tanpa memerhatikan dampak negatif dari tayangan tersebut. Padahal penonton televisi sangatlah beragam, di sana terdapat anak-anak dan remaja yang relatif masih mudah terpengaruh dan dipengaruhi. Sementara itu para orang tua terus sibuk dengan pekerjaannya masing-masing, tanpa memperdulikan kondisi yang tengah terjadi antara televisi dan anak-anaknya. Seringkali stasiun televisi sudah merasa cukup menjalankan produksi pemberitaan dan informasi bertema kriminalitas sesuai dengan kaidah teknis objektivitas berita, tanpa mau mempertimbangkan dampak etis pemberitaannya.
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi perlindungan anak, lembaga swadaya masyarakat, media masa atau instansi pemerintah terkait secara lintas instansi bekerjasama secara berkesinambungan dan tanpa henti mengevaluasi, mengkritisi, mengkoreksi atau kalau perlu memberi teguran dan sangsi sesuai wewenangnya. Semua bentuk kekerasan yang terdapat pada berbagai media eletronik seperti televisi, VCD play station, internet, atau berbagai bentuk game elektronik yang berkaitan dengan anak harus diawasi secara ketat. Jangan sampai setelah banyak timbul korban, baru tersadar dan akhirnya perilaku saling menyalahkan yang terjadi. Harus disadari ancaman pengaruh media eletronik terhadap perilaku kekerasan anak ternyata bukan hanya sekedar acara ”Smackdown”.
0 komentar — Skip ke Kotak Komentar
Posting Komentar — or Kembali ke Postingan